Selain kaya akan tempat wisatanya, Bali juga memiliki beragam budaya dan sejarahnya. Salah satunya adalah Perang Pandan Bali yang berasal dari Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali.

Sejak dulu tradisi sudah ada dan masih terus dilestarikan tarikan sampai sekarang. Bahkan tradisi ini mempunyai nama lain tradisi Mekare-kare.
Warisan Budaya ini mempunyai sejarah yang berkaitan dengan Dewa Indra. Dewa yang diyakini sebagai dewa peperangan di Agama Hindu. Nah masih ada keunikan serta fakta tentang tradisi yang satu ini.
Keunikan Perang Pandan Bali
Mengulik budaya dan sejarah Bali memang tidak ada habisnya. Salah satunya Perang Pandan Bali. Tradisi ini diturunkan dari generasi ke generasi.
Bahkan bertahan hingga ratusan tahun. Setiap tahun, masyarakat dipercaya menggelar tradisi ini sebagai penghormatan kepada dewa perang mereka yakni dewa Indra.
Mau tahu fakta dan keunikan dari tradisi ini secara lengkapnya? Langsung saja berikut ulasannya:
1. Bermula dari Cerita Rakyat
Dulu, Tenganan adalah wilayah yang berada di bawah kekuasaan raja bernama Maya Denawa. Konon, raja yang satu ini, memimpin wilayah Tenganan dengan seenaknya.
Bahkan raja tersebut sampai mengaku bahwa dirinya adalah dewa. Sehingga semua rakyatnya harus patuh melalukan ritual keagamaan sesuai yang ia kehendaki.
Karena kesombongannya inilah para dewa mulai murka dengan Raja Maya Denawa. Maka dewa mengutus Dewa Indra untuk turun ke bumi guna menghukum sang raja tersebut dengan memeranginya.
Peperangan yang mengatasnamakan kebenaran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra.
Wilayah Tenganan pun menjadi tenteram, damai dan sentosa setelah kematian sang raja. Dari situlah tradisi ini muncul hingga menjadi tradisi tahunan.
2. Ritual Tahunan
Bahkan ritual peperangan ini sampai kini masih menjadi ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenganan. Meskipun ada unsur kekerasan di dalamnya, darah yang ditumpahkan digambarkan sebagai bentuk persembahan yang diberikan kepada Dewa Indra.
Tak hanya itu saja, tradisi ini juga sering digunakan untuk meminta kesuburan tanah Tenganan. Sebagai contoh ketika daerah tersebut mengalami masa paceklik, masyarakat juga akan menggelar tradisi ini. Namun tidak ada dendam di antara masyarakat meskipun salah satu ada yang berdarah.
3. Memerlukan Persiapan yang Matang
Tradisi Perang Pandan Bali atau Mekare-kare memerlukan persiapan yang betul-betul matang. Sebelum dilakukan setidaknya segala sesuatunya harus dipersiapkan.
Paling sedikit dibutuhkan waktu 10 hari sebelum tradisi Perang ini dimulai. Bahkan pelaksanaannya juga harus sesuai dengan penanggalan Desa Adat Tenganan.
Tradisi ini biasanya dilakukan pada sasih kalima atau bulan kelima khusus kalender Desa Adat Tenganan. Waktu ritual peperangannya pun butuh waktu selama 2 hari berturut-turut. Dimulai pada pukul 14.00 WITA sampai acara ini selesai.
4. Tidak Ada Batas Usia untuk Pesertanya
Di dalam tradisi Perang Pandan Bali ini ada adegan kekerasan. Namun meskipun demikian, tidak ada batasan usia bagi peserta yang ingin melakukan tradisi peperangan ini.
Duel akan dilakukan satu lawan satu. Siapa pun boleh ikut asalkan mempunyai kesiapan yang sungguh-sungguh. Baik kesiapan mental maupun kesehatan fisik.
Walaupun ketika duel nanti sampai berdarah-darah, selesai perang tidak boleh ada pihak yang merasa sakit hati atau mempunyai dendam di dalam hatinya. Semuanya harus kembali seperti sediakala.
Sesungguhnya ritual ini lebih untuk melestarikan tradisi dan memberi persembahan pada para dewa khususnya Dewa Indra. Bukan untuk gagah-gagahan semata.
5. Pandan Sebagai Senjatanya
Perang Pandan Bali berasal dari senjata yang digunakannya. Perang ini menggunakan senjata pandan berduri oleh para pemain.
Daun pandan dikumpulkan dan diikat menjadi satu sampai membentuk gada. Lalu masing-masing peserta dibekali tameng yang terbuat dari anyaman rotan. Fungsinya adalah untuk melindungi tubuh agar tidak terkena sabetan daun pandan tadi.
Sabetan daun pandan yang mengenai tubuh akan membuat tubuh terluka dan darah pun mengucur secara deras. Makanya perlu kehati-hatian dan tameng agar peserta tidak terkena sabetan tersebut.
6. Perang Pandan Bali Diiringi Gamelan Selodi
Gamelan Seloding akan didengar oleh para penonton selama ritual peperangan berlangsung. Seloding sendiri memiliki pengertian alat tradisional dari Tenganan.
Alat musik satu ini tidak boleh dipegang atau dimainkan oleh sembarang orang. Hanya beberapa orang yang sudah disucikan saja, yang boleh memainkan alat musik Seloding ini.
Tak hanya itu saja, gamelan Seloding ini juga hanya boleh dimainkan pada acara tertentu saja. Ada satu pantangan yang tidak boleh dilanggar untuk alat musik ini. Pantangan tersebut yaitu alat musik tidak boleh menyentuh tanah.
Pelaksanaan Perang Pandan atau Tradisi Mekare-kare
Setelah mengetahui keunikan serta fakta tentang Perang Pandan Bali atau Tradisi Mekare-kare ini. Maka tentunya kamu akan bertanya-tanya apa sih isi acaranya hingga membuat wisatawan yang berkunjung ke Bali ingin melihat pelaksanaan tradisi ini.
Nah berikut pelaksanaan perang Pandan tersebut.
Tradisi Mekare-kare atau Perang Pandan dimulai dengan diawali upacara memohon keselamatan hingga ritual saling menuangkan tuak. Lalu pemimpin adat Desa Tenganan akan menyerukan tanda dimulainya perang pandan ini.
Aba-aba tersebut diberikan pada dua yang akan saling menyerang dan bertahan. Ada wasit juga yang menjadi penengah di sana.
Kedua peserta yang sudah dibekali pandan dan tameng tersebut akan saling serang. Selain itu para penonton akan mendengar iringan alunan gamelan.
Pertarungan akan terus berlanjut sampai aba-aba wasit terdengar dan menghentikan peperangannya. Peperangan tersebut akan berakhir setelah kedua peserta mengalami luka dan darah mengucur di beberapa bagian tubuh yang terkena sabetan.
Tapi tenang, biasanya selepas perang, para peserta akan mendapatkan pengobatan tradisional sehingga luka lekas sembuh.
Itulah Perang Pandan Bali atau Tradisi Mekare-kare. Wisatawan bisa melihat atau bahkan juga ikut bertarung menjadi peserta di dalam acara tersebut. Akan menjadi hal yang menyenangkan sekaligus tempat menambah wawasan tentang budaya yang ada di Indonesia.